Diambil dari sebuah pertemuan di
Brockwood Park
30 Agustus 1977
Aku menyadari cinta tidak dapat
ada apabila ada rasa cemburu; cinta tak dapat ada apabila ada keterikatan. Nah,
apakah mungkin bagiku untuk hidup bebas dari kecemburuan dan keterikatan?
Aku menyadari bahwa aku tidak mencintai. Itu sebuah
fakta. Aku tak akan menipu diriku sendiri, aku tak akan berpura-pura mencintai
istriku. Aku tak tahu apa cinta itu.Tetapi aku tahu bahwa aku cemburu dan aku
tahu bahwa aku terikat sekali pada istriku dan bahwa dalam keterikatan itu ada ketakutan,
ada kecemburuan, rasa was-was: ada rasa ketergantungan. Aku tak mau tergantung
tetapi aku tergantung karena aku kesepian; di kantor dan di pabrik aku di
suruh
suruh terus, lalu pulang dan ingin merasa nyaman dan mendapatkan teman, untuk Iari dari diriku sendiri.
suruh terus, lalu pulang dan ingin merasa nyaman dan mendapatkan teman, untuk Iari dari diriku sendiri.
Sekarang aku bertenya pada diriku Sendiri:
bagaimana aku bisa bebas dari keterikatan? Itu sebagai sebuah contoh saja.
Mula-mula aku ingin lari dari
pertanyaan itu. Aku tak tahu bagaimana hubungan dengan istriku akan berakhir.
Apabila aku betul-betul tidak terikat padanya, hubunganku dengan dia mungkin
berubah. Dia mungkin terikat padaku dan aku mungkin tidak terikat padanya
ataupun pada perernpuan lain.
Tetapi aku akan menyelidikinya.
Maka aku tak akan lari dari apa yang kubayangkan akan menjadi akibat dari
kebebasan total dari keterikatan. Aku tak tabu apa cinta itu, tetapi aku melihat
jelas sekali, dengan pasti, tanpa keraguan sedikitpun, bahwa keterikatan pada
istriku berarti kecemburuan, rasa memiliki, rasa takut, rasa kuatir dan aku
ingin bebas dari semuanya itu.
Maka aku mulai menyelidiki; aku mencari sebuah
metoda dan aku terjebak dalarn sebuah sistem. Ada guru yang mengatakan: 'aku
akan membantumu untuk tidak merasa terikat, lakukanlah ini dan ini; praktekkan
ini dan ini'. Aku menerima apa yang ia katakan sebab aku melihat pentingnya
hidup bebas dan ia menjanjikan kepadaku bahwa jika aku berbuat apa yang ia
katakan aku akan memperoleh hasil yang memuaskan.
Tetapi aku melihat bahwa dengan
cara itu aku mengharapkan sebuah hasil. Aku melihat betapa tololnya aku
menginginkan kebebasan dan menjadi terikat pada sebuah hasil tertentu. Aku
tidak mau terikat namun aku menemukan diriku sendiri menjadi terikat pada sebua
ide bahwa seseorang, atau sebuah buku, atau sebuah metoda, akan memberikan
menghasilkan kebebasan dan keterikatan.
Jadi, hasil itu menjadi sesuatu yang mengikat.
Maka aku berkata: "Lihatlah apa yang telah kulakukan; Hati-hati, jangan
terjebak dalam perangkap itu". Apakah itu seorang perernpuan, sebuah
metoda, atau sebuah ide, itu tetap sesuatu yang mengikat.
Aku sekarang waspada sekali karena aku telah
belajar sesuatu; artinya tidak menukar rasa terikat pada sesuatu dengan suatu
keterikatan yang lain. Aku bertanya kepada diriku sendiri: "Apa yang harus
kulakukan untuk hidup bebas dari keterikatan?" Apakah yang mendorongku
untuk ingin bebas dari keterikatan? Bukankah itu karena aku ingin mencapai
suatu keadaan di mana tidak ada keterikatan, tidak ada rasa takut dan
sebagainya? Dan aku tiba-tiba menyadari bahwa motif itulah yang memberikan arah
dan bahwa arah akan menentukan kebebasanku. Untuk apa punya motif? Apakah motif
itu?
Suatu motif adalah sebuah harapan,
atau suatu keinginan, untuk mencapai sesuatu. Aku melihat bahwa aku terikat
pada sebuah motif. Bukan saja istriku, bukan saja ideku, metodanya, tetapi
motifku telah menjadi sesuatu yang rnengikatku! Maka aku terus-menerus berfungsi
dalam keterikatan – si istri, si metoda, dan motif untuk mencapai sesuatu di
masa depan. Aku terikat pada semuanya ini. Aku melihat bahwa itu sesuatu yang
sangat kompleks;
Aku tidak menyadari bahwa ini semua terkandung
dalam upaya untuk menjadi bebas. Nah, aku melihat ini seperti aku melihat pada
sebuah peta letak jalan-jalan utama, jalanjalan kecil, dan desa-desa; aku
melihatnya jelas sekali. Lalu aku berkata kepada diriku sendiri: "Nah,
apakah mungkin bagiku untuk bebas dari keterikatan yang kuat pada istriku dan bebas
dari ganjaran yang kuperkirakan akan kudapat dan juga bebas dari motifku?"
Pada semuanya ini aku terikat. Mengapa?
Apakah itu karena aku merasa ada
kekurangan pada diriku?
Apakah itu karena aku amat sangat
kesepian dan karena itu berupaya untuk lari dari rasa kesepian dengan mencari seorang
perempuan, sebuah ide, sebuah motif; seakan aku haus berpegangan pada sesuatu?
Aku melihat bahwa semua itu memang begitu, aku' kesepian dan aku, melalui
keterikatan pada sesuatu, lari dari perasaan kesepian yang luarbiasa itu.
Jadi, aku tertarik untuk memahami
mengapa aku kesepian, sebab aku melihat bahwa itulah yang membuatku terikat. Keadaan
kesepian itu memaksaku untuk lari melalui keterikatan pada ini atau itu, dan
aku melihat bahwa selama aku kesepian, urutan kejadiannya selalu seperti ini.
Apakah artinya kesepian? Bagaimana terjadinya? Apakah itu bersifat naluri,
keturunan, atau itu disebabkan oleh kesibukan keseharianku? Jika itu bersifat
naluri, jika itu sifat yang diturunkan, itu bagian dari nasibku; aku tidak bisadipersalahkan.
Tetapi, karena aku tidak menerima itu semua,aku mempertanyakannya dan tetap
bersama pertanyaan itu. Aku sedang mengamati dan aku tidak berupaya untuk menemukan
sebuah jawaban intelektual. Aku tidak mencoba memberitahu kepada rasa kesepian
itu apa yang haus dilakukannya, atau seperti apa perasaan itu; aku mengamatinya
supaya ia memberitahuku. Di situ ada kewaspadaan di mana kesepian itu dapat
mengung-kapkan dirinya sendiri. Kesepian itu tidak akan mengungkapkan dirinya jika
aku lari darinya; jika aku takut; jika aku melawannya. Jadi, aku mengamatinya.
Aku mengamatinya sedemikian rupa sehingga tidak ada pikiran sedikitpun yang
ikut campur.
Mengamati jauh lebih penting
daripada masuknya pikiran. Dan karena energiku tercurah pada pengamatan
kesepian itu,pikiran tidak berperan sama sekali. Batin dalam keadaan tertantang
dan ia haus menjawab. Karena tertantang, ia dalam keadaan krisis. Dalam sebuah
krisis ada energi yang besar dan energi itu tetap tanpa intervensi dari
pikiran.
Ini sebuah tantangan yang harus dijawab:
Aku telah memulai suatu dialog
dengan diriku sendiri. Aku bertanya kepada diriku sendiri apa benda aneh yang
disebut cinta ini; setiap orarg berbicara tentang cinta, menulis tentang cinta
— semua puesi romantis, gambaran tentang cinta, seks dan semua hal lainnya
tentang cinta ini? Aku bertanya: adakah ada cinta itu? Aku meiihat cinta tak
ada apabila ada rasa cemburu, rasa benci, rasa takut. Jadi, aku tidak berurusan
dengan cinta lagi. Aku sedang berurusan dengan 'apa yang ada', ketakutanku,
keterikatanku. Mengapa aku terikat? Aku melihat bahwa salah satu motifnya aku
bukannya mengatakan itulah seluruh motif yang mendorongku — ialah bahwa aku kesepian
sekali, merasa terasing. Semakin tumbuh dewasa semakin terasing pula aku. Jadi,
aku mengamati hal itu. Ini sebuah tantangan yang perlu dikaji, dan karena itu
sebuah tantangan, semua energi ada di situ untuk menjawab. Itu sederhana saja.
Jika ada musibah, sebuah kecelakaan atau apapun lainnya, itulah tantangan dan
aku punya energi untuk menghadapinya. Aku tidak usah bertanya: "Bagaimana
aku rnemperoleh energi ini?" Apabila rumah terbakar aku punya energi untuk
bergerak„ energi yang luar biasa. Aku tidak diam saja dan berkata: "Aku
harus mendapatkan energi ini" lalu rnenunggu; sementara itu seluruh rumah
sudah habis terbakar.
Jadi, di situ ada energi yang
besar sekali untuk menjawab pertanyaan: rnengapa kesepian itu ada? Aku telah
menolak semua ide, praduga dan teori bahwa kesepian itu sesuatu yang diturunkan,
bahwa itu bersifat naluri. Semuanya itu tidak ada artinya bagiku. Kesepian
ialah 'apa adanya'. Mengapa setiap orang, kalau pun ia menyadarinya, mengalami
kesepian secara dangkal atau mendalam sekali? Mengapa kesepian itu muncul?
Apakah itu karena batin berbuat
sesuatu yang memunculkannya? Aku telah menolak teori-teori tentang sifatsifat
naluri dan keturunan dan aku bertanya: apakah pikiran, otak itu sendiri.
menciptakan kesepian ini, pengasingan total ini? Gerak pikiran itukah yang
melakukan ini? Pikiran dalam kehidupan keseharianku itukah yang menciptakan
rasa keterasingan ini? Di kantor aku mengasingkan diriku karena aku ingin
menjadi bos tertinggi, oleh sebab itu pikiran terus menerus bekerja untuk
mengasingkan diri. Aku melihat bahwa pikiran terus menerus bekerja untuk
membuat dirinya superior, batin mernbuat dirinya menjadi terasing.
Maka masalahnya menjadi: mengapa
pikiran berbuat ini?
Apakah itu sifat pikiran bahwa ia
bekerja bagi dirinya sendiri?
Apakah itu sifat pikiran bahwa ia
menciptakan keterasingan ini?
Pendidikan menghasilkan
keterasingan ini; pendidikan memberikanku sebuah karier tertentu, suatu
spesialisasi tertentu dan karena itu, keterasingan. Pikiran, karena bersifat fragmentaris.
karena terbatas dan terikat waktu, menciptakan keterasingan ini. Dalam
keterbatasan itu, pikiran merasa dirinya aman dengan mengatakan: "Aku
punya karier khusus dalam hidupku; aku seorang profesor; aku betul-betul
aman."
Maka urusanku menjadi: mengapa
pikiran melakukan itu?
Apakah perbuatan itu memang sifat
hakikinya? Apapun yang dilakukan pikiran pasti terbatas. Sekarang masalahnya
ialah: apakah pikiran bisa menyadari bahwa apapun yang dilakukannya adalah
terbatas, fragmentaris dan oleh sebab itu mengasingkan dan apa pun yang
dilakukan akan menjadi begitu?
Ini sesuatu yang penting sekali: dapatkah
pikiran itu sendiri menyadari keterbatasannya? Atau akukah yang memberitahu
pikiran bahwa ia terbatas? Inilah, yang kulihat, sesuatu yang penting sekali
untuk dipahami; inilah,sifat hakiki masalah itu. Jika pikiran menyadari sendiri
bahwa ia terbatas dan tidak ada perlawanan, tidak ada konflik, ia berkata:
"Akulah itu". Tetapi jika aku yang memberitahu pikiran bahwa
terbatas, maka aku menjadi terpisah dan keterbatasan itu.
Maka aku berjuang untuk mengatasi
keterbatasan itu, dan karena itu ada konflik dan kekerasan, bukan cinta, Jadi
apakah pikiran menyadari sendiri bahwa ia terbatas? Itu harus kuselidiki. Aku
tertantang. Karena aku tertantang aku punya energi besar. Dengan kata lain:
apakah kesadaran menyadari bahwa isi adalah isinya? Ataukah aku pernah mendengar
orang lain berkata: "Kesadaran adalah isinya; Kesadaran dibentuk oleh
isinya"? Sebab itu aku berkata: "Ya, memang begitu adanya".
Apakah kita melihat perbedaan antara kedua
ungkapan itu? Ungkapan terakhir dicipta-kan pikiran, ditentukan oleh si 'aku'.
Jika aku memaksakan sesuatu pada pikiran maka terjadilah konflik. Itu seperti
pemerintahan tiranik yang memaksakan sesuatu pada seseorang, tetapi dalam hal ini
pemerintahan itu adalah sesuatu yang kuciptakan sendiri.
Maka aku bertanya kepada diriku:
apakah pikiran menyadari keterbatasannya sendiri? Atau pikiran itu menganggap
dirinya sesuatu yang luar biasa, mulia, illahi? – dan itu omong kosong sebab
pikiran bergerak berdasarkan memori. Aku melihat bahwa perlu ada kejelasan
tentang hal ini: bahwa tidak ada pengaruh luar sedikitpun yang memaksa pikiran
untuk mengatakan bahwa ia terbatas. Jadi, karena tidak ada pemaksaan maka tidak
ada konflik; pikiran menyadari begitu saja bahwa ia terbatas; ia menyadari
bahwa apa pun yang dilakukannya – pemujaan Tuhannya dan sebagainya – adalah terbatas,
buruk, dangkal – walaupun pikiran itu telah menciptakan gereja - gereja tempat
pemujaan yang indah di seluruh Eropa.
Jadi dalam dialogku dengan diriku
sendiri ditemukan bahwa rasa kesepian diciptakan oleh pikiran. Sekarang pikiran
menyadari sendiri bahwa ia terbatas dan dengan demikian ia tidak dapat
memecahkan masalah kesepian.
Nah, di saat pikiran tidak dapat memecahkan
masalah kesepian itu, adakah kesepian di situ? Pikiran telah menciptakan rasa
kesepian, kekosongan ini, karena ia terbatas, fragmentaris, terbagi; dan bila
ia menyadari hal ini, kesepian itu tak ada, dan karena itu ada kebebasan dari
keterikatan. Aku tidak berbuat apa-apa;
aku hanya mengamati keterikatan
itu saja, apa yang terkandung di dalamnya, keserakahan, ketakutan, kesepian, semuanya
itu dan dengan menelusurinya, mengobservasinya, tanpa menganalisisnya, tetapi
hanya melihat saja, melihat dan melihat, terjadilah penemuan bahwa pikiran
telah melakukan semuanya ini. Pikiran, karena ia fragmentaris, telah menciptakan
keterikatan ini. Apabila ia menyadari ini, keterikatan berhenti ada, Disini
tidak ada upaya sama sekali.
Di saat ada upaya – konflik
kembali lagi.Di dalam cinta tidak ada keterikatan. jika keterikatan ada, cinta tidak
ada. Faktor utama sudah terhapus melalui pengingkaran tentang apa yang bukan
cinta, melalui pengingkaran keterikatan. Aku tahu apa artinya itu dalam
kehidupanku sehari-hari: tak ada ingatan tentang apa pun yang telah dilakukan
oleh istriku, pacarku, atau tetanggaku untuk melukaiku; tak ada keterikatan
pada citra apa pun yang telah diciptakan pikiran tentang orang itu; bagaimana
ia telah menggertakku, bagaimana ia telah memberiku kenyamanan, betapa aku
telah memperoleh kenikmatan seksual, aneka peristiwa yang citranya dihasilkan
oleh gerak pikiran itu; keterikatan pada citra-citra itu telah hilang.
Dan ada faktor-faktor lain:
haruskah aku mengalami semuanya itu tahap demi tahap, satu demi satu? Ataukah
semuanya itu selesai sudah? Haruskah aku mengalami, haruskah aku menyelidiki –
sebagaimana aku menyelidiki keterikatan – apa itu ketakutan, apa itu kenikmatan
dan apa itu keinginan akan kenyamanan? Aku melihat bahwa aku tidak harus
menyelidiki semua faktor yang berbeda-beda itu; aku melihatnya dalam sekilas
pandang, aku telah menangkapnya.
Jadi, melalui pengingkaran
tentang apa yang bukan cinta, cinta ada. Aku tak perlu bertanya apa cinta itu.
Aku tak harus mengejarnya. Jika aku mengejarnya maka bukanlah itu cinta melainkan
sebuah hasil upaya. Jadi, di dalam penyelidikan itu, aku telah mengingkari, aku
telah mengakhiri, dengan perlahanlahan, dengan hati-hati, tanpa distorsi, tanpa
ilusi, segala
sesuatu yang bukan cinta – dan
yang ada ialah cinta.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar