Translate

Selasa, 10 Mei 2016

The Book Of Life , 7-11 Mei


07 Mei
Kita Harus Memiliki Perasaan Luhur

Di dunia modern, tempat terdapat begitu banyak masalah, kita cenderung kehilanganperasaan luhur. Yang saya maksud dengan kata ’perasaan’ bukanlah sentimen, bukan emosionalisme, bukan sekadar rangsangan, tetapi kualitas persepsi, kualitas mendengar, menyimak, kualitas merasakan seekor burung berkicau di sebuah pohon, gerakan sehelai daun dalam sorotan sinar matahari. Merasakan sesuatu secara luhur, secara mendalam, secara menembus, amat sukar bagi kebanyakan dari kita, oleh karena kita mempunyai banyak masalah.





Apa pun yang kita sentuh seolah-olah menjadi masalah. Dan tampaknya masalah manusia tak ada
habisnya, dan ia tampak sama sekali tidak mampu menyelesaikannya, oleh karena makin banyak
masalah, makin berkurang perasaan.
Yang saya maksud dengan ’perasaan’ ialah menghayati bengkoknya sebuah cabang, kemesuman, kekotoran sebuah jalan, peka terhadap kesedihan orang lain, berada dalam keadaan terpukau ketika kita melihat matahari terbenam. Ini bukan sentimen, ini bukan sekadar emosi. Emosi dan sentimen atau sentimentalitas berubah menjadi kekejaman, hal-hal itu bisa dipakai oleh masyarakat; dan bila ada sentimen, rasa-tubuh, maka kita menjadi budak masyarakat. Alihalih, kita harus memiliki perasaan luhur. Perasaan terhadap keindahan, perasaan terhadap sebuah kata, keheningan di antara dua kata, dan mendengar sebuah suara secara jelas—semua itu menghasilkan perasaan. Dan kita perlu memiliki perasaan yang kuat, oleh karena hanya perasaanlah yang membuat batin amat peka.
 
08 Mei
Mengamati Tanpa Pikiran

Tidak ada perasaan tanpa pikiran; dan di balik pikiran terdapat kenikmatan, jadi mereka berada bersama-sama: kenikmatan, kata, pikiran, perasaan; mereka tidak terpisah. Pengamatan tanpa pikiran, tanpa perasaan, tanpa kata adalah energi. Energi terbuang percuma oleh kata-kata, asosiasi, pikiran, kenikmatan, dan waktu; akibatnya, tidak ada lagi energi untuk memandang.

09 Mei
Totalitas Perasaan

Apakah perasaan itu? Perasaan itu seperti pikiran. Perasaan adalah sensasi. Saya melihat sekuntum bunga dan saya menanggapi bunga itu; saya suka atau tidak suka. Suka atau tidak suka itu ditentukan oleh pikiran, dan pikiran adalah respons dari latar belakang ingatan. Jadi, saya berkata, ”Saya suka bunga ini,” atau ”Saya tidak suka bunga itu”; ”Saya suka perasaan ini,” atau ”Saya tidak suka perasaan itu.” ... Nah, apakah cinta berkaitan dengan perasaan? Jelas, perasaan adalah sensasi—perasaan suka dan tidak suka, baik dan buruk, citarasa baik dan seterusnya.
Apakah perasaan itu berkaitan dengan cinta? ... Pernahkah Anda mengamati jalan di tempat tinggal Anda, pernahkah Anda mengamati cara Anda hidup di rumah Anda, cara Anda duduk, cara Anda bicara? Dan pernahkah Anda mengamati tokoh-tokoh suci yang Anda puja?
 Bagi mereka gairah adalah seks, dan dengan demikian mereka mengingkari gairah, dengan demikian
mereka mengingkari keindahan—mengingkari dalam arti mengesampingkan. Maka, bersama sensasi Anda membuang cinta, oleh karena Anda berkata, “Sensasi akan membelenggu saya— saya akan diperbudak oleh nafsu seks; oleh karena itu saya harus memotongnya.” Dengan demikian Anda membuat seks menjadi masalah besar. ... Bila Anda memahami perasaan dengan tuntas, bukan sebagian-sebagian, bila Anda sungguh-sungguh memahami totalitas perasaan, maka Anda akan tahu apa cinta itu.
Bila Anda mampu melihat keindahan sebatang pohon, bila Anda mampu melihat keindahan seulas senyum, bila Anda mampu melihat matahari terbenam di balik dinding kota Anda—melihat secara total—maka Anda akan tahu apa cinta itu.


10 Mei
Jika Anda Tak Memberikan Nama kepada Perasaan Itu

Bila Anda mengamati suatu perasaan, perasaan itu akan berakhir. Tetapi sekalipun perasaan itu berakhir, jika masih ada si pengamat, si penonton, si penyensor, si pemikir yang tetap terpisah dari perasaan itu, maka masih ada kontradiksi. Jadi amat penting untuk memahami bagaimana kita memandang suatu perasaan.
Ambillah, misalnya, suatu perasaan yang sangat umum: cemburu. Kita semua tahu bagaimana rasanya cemburu. Nah, bagaimana Anda memandang rasa cemburu Anda? Bila Anda memandang perasaan itu, Anda adalah pengamat dari cemburu sebagai sesuatu yang terpisah dari diri Anda. Anda berupaya mengubah cemburu, memodifikasikannya, atau Anda berupaya menjelaskan mengapa Anda merasa berhak untuk cemburu, dan seterusnya.
Jadi ada suatu sosok, si penyensor, suatu entitas yang terpisah dari rasa cemburu dan yang mengamatinya. Untuk sesaat rasa cemburu itu mungkin lenyap, tapi ia akan datang lagi; dan ia datang lagi karena Anda tidak sungguh-sungguh melihat bahwa cemburu itu adalah bagian dari Anda.... Yang saya katakan ialah, pada saat Anda memberi nama, suatu label terhadap perasaan itu, Anda telah membawanya ke dalam kerangka tua; dan yang tua adalah si pengamat, entitas terpisah yang terbentuk dari kata, gagasan, opini tentang yang baik dan yang buruk. ... Tetapi jika Anda tidak memberi nama perasaan itu—yang menuntut keadaaan-sadar yang luar biasa, suatu pemahaman langsung yang mendalam—maka Anda akan melihat bahwa tidak ada si pengamat, tidak ada si pemikir, tidak ada pusat yang dari situ Anda menghakimi, dan bahwa Anda tidak berbeda dari perasaan itu. Tidak ada ”Anda” yang merasakan perasaan itu.



11 Mei
Emosi Tidak Menghasilkan Apa-apa

Entah Anda didorong oleh emosi Anda, entah Anda didorong oleh intelek Anda, itu membawa kepada keputusasaan, oleh karena tidak menghasilkan apa-apa. Tetapi Anda menyadari, cinta bukanlah kenikmatan, cinta bukanlah keinginan. Tahukah Anda apa itu kenikmatan, Bapak? Bila Anda memandang sesuatu atau bila Anda mempunyai suatu perasaan, maka memikirkan perasaan itu, menggeluti terus-menerus perasaan itu memberi Anda kenikmatan, dan Anda menginginkan kenikmatan itu dan Anda
mengulangi kenikmatan itu terus-menerus. Entah seseorang sangat berambisi atau tidak punya ambisi, itu memberinya kenikmatan. Bila seseorang mencari kekuasaan, kedudukan, keterhormatan atas nama negara, atas nama suatu gagasan, dan sebagainya, itu memberinya kenikmatan. Dia tidak punya cinta sama sekali, dan oleh karena itu ia berbuat kerusakan di muka bumi. Dia menimbulkan perang di dalam maupun di luar.
Jadi, kita perlu menyadari bahwa emosi, sentimen, entusiasme, merasa enak, dan sebagainya tidak ada kaitannya sama sekali dengan kasih sayang, welas-asih sejati. Semua sentimen, emosi berkaitan dengan pikiran dan oleh karena itu menghasilkan kenikmatan dan kesakitan. Cinta tidak punya kesakitan, tidak punya penderitaan, oleh karena ia bukan hasil dari kenikmatan dan keinginan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar