07 Mei
Kita Harus Memiliki Perasaan
Luhur
Di dunia modern, tempat terdapat begitu banyak masalah, kita cenderung kehilanganperasaan luhur. Yang saya maksud dengan kata ’perasaan’ bukanlah sentimen, bukan emosionalisme, bukan sekadar rangsangan, tetapi kualitas persepsi, kualitas mendengar, menyimak, kualitas merasakan seekor burung berkicau di sebuah pohon, gerakan sehelai daun dalam sorotan sinar matahari. Merasakan sesuatu secara luhur, secara mendalam, secara menembus, amat sukar bagi kebanyakan dari kita, oleh karena kita mempunyai banyak masalah.
Apa pun yang kita sentuh seolah-olah menjadi masalah. Dan tampaknya masalah
manusia tak ada
habisnya, dan ia tampak sama sekali tidak mampu menyelesaikannya, oleh karena makin banyak
masalah, makin berkurang perasaan.
Yang saya maksud dengan ’perasaan’ ialah menghayati bengkoknya sebuah cabang, kemesuman, kekotoran sebuah jalan, peka terhadap kesedihan orang lain, berada dalam keadaan terpukau ketika kita melihat matahari terbenam. Ini bukan sentimen, ini bukan sekadar emosi. Emosi dan sentimen atau sentimentalitas berubah menjadi kekejaman, hal-hal itu bisa dipakai oleh masyarakat; dan bila ada sentimen, rasa-tubuh, maka kita menjadi budak masyarakat. Alihalih, kita harus memiliki perasaan luhur. Perasaan terhadap keindahan, perasaan terhadap sebuah kata, keheningan di antara dua kata, dan mendengar sebuah suara secara jelas—semua itu menghasilkan perasaan. Dan kita perlu memiliki perasaan yang kuat, oleh karena hanya perasaanlah yang membuat batin amat peka.
habisnya, dan ia tampak sama sekali tidak mampu menyelesaikannya, oleh karena makin banyak
masalah, makin berkurang perasaan.
Yang saya maksud dengan ’perasaan’ ialah menghayati bengkoknya sebuah cabang, kemesuman, kekotoran sebuah jalan, peka terhadap kesedihan orang lain, berada dalam keadaan terpukau ketika kita melihat matahari terbenam. Ini bukan sentimen, ini bukan sekadar emosi. Emosi dan sentimen atau sentimentalitas berubah menjadi kekejaman, hal-hal itu bisa dipakai oleh masyarakat; dan bila ada sentimen, rasa-tubuh, maka kita menjadi budak masyarakat. Alihalih, kita harus memiliki perasaan luhur. Perasaan terhadap keindahan, perasaan terhadap sebuah kata, keheningan di antara dua kata, dan mendengar sebuah suara secara jelas—semua itu menghasilkan perasaan. Dan kita perlu memiliki perasaan yang kuat, oleh karena hanya perasaanlah yang membuat batin amat peka.
08 Mei
Mengamati Tanpa Pikiran
Mengamati Tanpa Pikiran
Tidak
ada perasaan tanpa pikiran; dan di balik pikiran terdapat kenikmatan, jadi
mereka berada bersama-sama: kenikmatan, kata, pikiran, perasaan; mereka tidak
terpisah. Pengamatan tanpa pikiran, tanpa perasaan, tanpa kata adalah energi.
Energi terbuang percuma oleh kata-kata, asosiasi, pikiran, kenikmatan, dan
waktu; akibatnya, tidak ada lagi energi untuk memandang.
09 Mei
Totalitas Perasaan
Totalitas Perasaan
Apakah
perasaan itu? Perasaan itu seperti pikiran. Perasaan adalah sensasi. Saya
melihat sekuntum bunga dan saya menanggapi bunga itu; saya suka atau tidak
suka. Suka atau tidak suka itu ditentukan oleh pikiran, dan pikiran adalah
respons dari latar belakang ingatan. Jadi, saya berkata, ”Saya suka bunga ini,”
atau ”Saya tidak suka bunga itu”; ”Saya suka perasaan ini,” atau ”Saya tidak
suka perasaan itu.” ... Nah, apakah cinta berkaitan dengan perasaan? Jelas,
perasaan adalah sensasi—perasaan suka dan tidak suka, baik dan buruk, citarasa
baik dan seterusnya.
Apakah perasaan itu berkaitan dengan cinta? ... Pernahkah Anda mengamati jalan di tempat tinggal Anda, pernahkah Anda mengamati cara Anda hidup di rumah Anda, cara Anda duduk, cara Anda bicara? Dan pernahkah Anda mengamati tokoh-tokoh suci yang Anda puja?
Apakah perasaan itu berkaitan dengan cinta? ... Pernahkah Anda mengamati jalan di tempat tinggal Anda, pernahkah Anda mengamati cara Anda hidup di rumah Anda, cara Anda duduk, cara Anda bicara? Dan pernahkah Anda mengamati tokoh-tokoh suci yang Anda puja?
Bagi mereka gairah adalah seks, dan dengan
demikian mereka mengingkari gairah, dengan demikian
mereka mengingkari keindahan—mengingkari dalam arti mengesampingkan. Maka, bersama sensasi Anda membuang cinta, oleh karena Anda berkata, “Sensasi akan membelenggu saya— saya akan diperbudak oleh nafsu seks; oleh karena itu saya harus memotongnya.” Dengan demikian Anda membuat seks menjadi masalah besar. ... Bila Anda memahami perasaan dengan tuntas, bukan sebagian-sebagian, bila Anda sungguh-sungguh memahami totalitas perasaan, maka Anda akan tahu apa cinta itu.
mereka mengingkari keindahan—mengingkari dalam arti mengesampingkan. Maka, bersama sensasi Anda membuang cinta, oleh karena Anda berkata, “Sensasi akan membelenggu saya— saya akan diperbudak oleh nafsu seks; oleh karena itu saya harus memotongnya.” Dengan demikian Anda membuat seks menjadi masalah besar. ... Bila Anda memahami perasaan dengan tuntas, bukan sebagian-sebagian, bila Anda sungguh-sungguh memahami totalitas perasaan, maka Anda akan tahu apa cinta itu.
Bila
Anda mampu melihat keindahan sebatang pohon, bila Anda mampu melihat keindahan
seulas senyum, bila Anda mampu melihat matahari terbenam di balik dinding kota
Anda—melihat secara total—maka Anda akan tahu apa cinta itu.
10 Mei
Jika Anda Tak Memberikan Nama
kepada Perasaan Itu
Bila
Anda mengamati suatu perasaan, perasaan itu akan berakhir. Tetapi sekalipun perasaan
itu berakhir, jika masih ada si pengamat, si penonton, si penyensor, si pemikir
yang tetap terpisah dari perasaan itu, maka masih ada kontradiksi. Jadi amat
penting untuk memahami bagaimana kita memandang suatu perasaan.
Ambillah, misalnya, suatu perasaan yang sangat umum: cemburu. Kita semua tahu bagaimana rasanya cemburu. Nah, bagaimana Anda memandang rasa cemburu Anda? Bila Anda memandang perasaan itu, Anda adalah pengamat dari cemburu sebagai sesuatu yang terpisah dari diri Anda. Anda berupaya mengubah cemburu, memodifikasikannya, atau Anda berupaya menjelaskan mengapa Anda merasa berhak untuk cemburu, dan seterusnya.
Ambillah, misalnya, suatu perasaan yang sangat umum: cemburu. Kita semua tahu bagaimana rasanya cemburu. Nah, bagaimana Anda memandang rasa cemburu Anda? Bila Anda memandang perasaan itu, Anda adalah pengamat dari cemburu sebagai sesuatu yang terpisah dari diri Anda. Anda berupaya mengubah cemburu, memodifikasikannya, atau Anda berupaya menjelaskan mengapa Anda merasa berhak untuk cemburu, dan seterusnya.
Jadi
ada suatu sosok, si penyensor, suatu entitas yang terpisah dari rasa cemburu
dan yang mengamatinya. Untuk sesaat rasa cemburu itu mungkin lenyap, tapi ia
akan datang lagi; dan ia datang lagi karena Anda tidak sungguh-sungguh melihat
bahwa cemburu itu adalah bagian dari Anda.... Yang saya katakan ialah, pada
saat Anda memberi nama, suatu label terhadap perasaan itu, Anda telah
membawanya ke dalam kerangka tua; dan yang tua adalah si pengamat, entitas terpisah
yang terbentuk dari kata, gagasan, opini tentang yang baik dan yang buruk. ...
Tetapi jika Anda tidak memberi nama perasaan itu—yang menuntut keadaaan-sadar
yang luar biasa, suatu pemahaman langsung yang mendalam—maka Anda akan melihat
bahwa tidak ada si pengamat, tidak ada si pemikir, tidak ada pusat yang dari
situ Anda menghakimi, dan bahwa Anda tidak berbeda dari perasaan itu. Tidak ada
”Anda” yang merasakan perasaan itu.
11 Mei
Emosi Tidak Menghasilkan Apa-apa
Entah
Anda didorong oleh emosi Anda, entah Anda didorong oleh intelek Anda, itu membawa
kepada keputusasaan, oleh karena tidak menghasilkan apa-apa. Tetapi Anda menyadari,
cinta bukanlah kenikmatan, cinta bukanlah keinginan. Tahukah Anda apa itu
kenikmatan, Bapak? Bila Anda memandang sesuatu atau bila Anda mempunyai suatu
perasaan, maka memikirkan perasaan itu, menggeluti terus-menerus perasaan itu
memberi Anda kenikmatan, dan Anda menginginkan kenikmatan itu dan Anda
mengulangi kenikmatan itu terus-menerus. Entah seseorang sangat berambisi atau tidak punya ambisi, itu memberinya kenikmatan. Bila seseorang mencari kekuasaan, kedudukan, keterhormatan atas nama negara, atas nama suatu gagasan, dan sebagainya, itu memberinya kenikmatan. Dia tidak punya cinta sama sekali, dan oleh karena itu ia berbuat kerusakan di muka bumi. Dia menimbulkan perang di dalam maupun di luar.
Jadi, kita perlu menyadari bahwa emosi, sentimen, entusiasme, merasa enak, dan sebagainya tidak ada kaitannya sama sekali dengan kasih sayang, welas-asih sejati. Semua sentimen, emosi berkaitan dengan pikiran dan oleh karena itu menghasilkan kenikmatan dan kesakitan. Cinta tidak punya kesakitan, tidak punya penderitaan, oleh karena ia bukan hasil dari kenikmatan dan keinginan
mengulangi kenikmatan itu terus-menerus. Entah seseorang sangat berambisi atau tidak punya ambisi, itu memberinya kenikmatan. Bila seseorang mencari kekuasaan, kedudukan, keterhormatan atas nama negara, atas nama suatu gagasan, dan sebagainya, itu memberinya kenikmatan. Dia tidak punya cinta sama sekali, dan oleh karena itu ia berbuat kerusakan di muka bumi. Dia menimbulkan perang di dalam maupun di luar.
Jadi, kita perlu menyadari bahwa emosi, sentimen, entusiasme, merasa enak, dan sebagainya tidak ada kaitannya sama sekali dengan kasih sayang, welas-asih sejati. Semua sentimen, emosi berkaitan dengan pikiran dan oleh karena itu menghasilkan kenikmatan dan kesakitan. Cinta tidak punya kesakitan, tidak punya penderitaan, oleh karena ia bukan hasil dari kenikmatan dan keinginan




Tidak ada komentar:
Posting Komentar